Pendahuluan
Jual beli merupakan
salah satu cara pemenuhan kebutuhan manusia guna menjaga keberlangsungan hidupnya.
Akan tetapi di era modern ini, seringkali seseorang terjerumus dalam transaksi
yang tidak sesuai syari’at, merugikan, terkhusus dalam pemerolehan keuntungan.
Konflik yang terjadi banyak pembeli yang kecewa baik karena barang yang tidak
sesuai keinginana, terjadinya penipuan, serta harga yang tinggi. Dan diantara
penjual seringkali mereka merasa laba yang di dapatkan kurang bahkan merasa
dirugikan.
Islam memberikan
solusi jual beli dengan amanah. Agar kaum muslimin dapat memahami dan
menerapkanya, tidak terjebak dalam transaksi batil maupun syubhat. Transaksi yang
menguntungkan kedua belah pihak dengan unsur kepercayaan dan kejujuran. Bukan
hanya sekedar namanya saja, karena banyak praktik transaksi yang menamainya
dengan nama islami dan amanah akan tatapi di dalamnya masih terdapat hal yang
dilarang, di makruhkan, atau di ragukan hukumnya dalam syari’at.
Oleh karena
itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan jual beli amanah, terkhusus pada
tata cara yang diperbolehkan oleh syar’i menurut pendapat mayoritas ulama’.
Dalam pembahasan ini mencakup jenis, hukum, serta tatacara pelaksanannya. Dengan
judul “Jual Beli Amanah”.
Pembahasan
Jual Beli Amanah
A.
Pengertian
Secara bahasa, amanah artinya ithmi`nan (tenang) dan tidak
takut. Terkadang kata amanah juga digunakan untuk menamakan al wafa’ (setia) dan wadi`ah (barang titipan).[1] Secara
istilah, jual beli amanah digunakan untuk menamakan transaksi
yang menuntut kepercayaan bagi penjual, karena dia telah menyampaikan informasi
kepada pembeli yang itu merupakan amanahnya. Karena itu, jual beli amanah
adalah jual beli yang dibangun atas prinsip saling percaya dan amanah antara
kedua belah pihak.[2]
Sementara itu,
kepercayaan dan amanah ini boleh jadi mengacu pada penjual atau pembeli, atau
kedua-duanya. Misalnya, amanah dan kepercayaan yang mengacu pada penjual. Dalam sebuah kasus jual-beli,
penjual menyampaikan bahwa harga kulakan barang ini sekian rupiah. Dalam kasus
ini penjual dituntut untuk amanah ketika menyampaikan harga kulakan, sehingga
bisa meyakinkan pembeli.
Adapun contoh dan
kepercayaan yang mengacu pada pembeli, bisa dipelajari di pembahasan
macam-macam jual beli amanah. Oleh karena itu Jual beli amanah bisa disebut dengan
pengelompokan tata cara penentuan harga juga pengambilan untung. [3]
B.
Macam-Macam Jual Beli Amanah
Berdasarkan pengertian dan maksud awal Jual beli amanah yakni serupa
dengan tatacara pengambilan sebuah laba, baik dengan menjualnya lebih murah
ataupun lebih mahal. Menurut Dr. Wahbah Az Zuhaili Jika di lihat dari barang penggantinya (harga), maka jual
beli dapat di bagi menjadi lima macam, antara lain: Jual beli Murabahah,
Jual beli Musawwamah, Jual beli Tawliyah, Jual beli Isyrak, Jual
beli Wadhi’ah, [4] Sebagaimana pula dalam kitab
fikih islam lain. Ulama’ berbeda-beda dalam membagi jual beli amanah.
1.
Jual Beli Murabahah
Murabahah secara bahasa merupakan
masdar dari kata رابح
yang bermakna adalah ziyadah (tambahan). secara istilah adalah jual beli
barang dagangan dengan harga awalnya dan ditambah di dalamnya dengan keuntungan
dengan syarat khusus yang di rincikan pada setiap madzhab.[5] Dan
dalam istilah para ulama fiqih terdahulu yaitu salah satu bagian dari jual beli
amanah. Dimana penjual menyebut harga pokok barang dan mensyaratkan laba sekian
ke pada pembeli.[6]
Jual beli Murabahah
merupakan transaksi yang di perbolehkan oleh syari’at. Kebanyakan para ulama
dari kalangan sahabat, tabi’in dan imam madzhab sepakat atas kebolehannya[7].
Namun berbeda jika menurut ulama Malikiyah,[8]jual
beli ini hukumnya khilaful awla.
Dalam transaksi murabahah ada beberapa hal perlu
diperjelas. Murabahah adalah taransaksi jual beli yang di
dasari saling percaya, karena pembeli percaya kepada pengakuan penjual mengenai
harga pertama. Tanpa bukti apapun dan jug tanpa sumpah. Oleh sebab itu, kedua
belah pihak tidak ada yang boleh berkhianat. Jika terjadi kerusakan dagangan di
tangan penjual, atau di tangan pembeli, kemudian pembeli itu akan menjualnya
kembali kepada orang lain atau pembeli lain maka di lihat dari beberapa hal.[9]
Jika kerusakan
itu muncul dengan sendirinya, maka dia boleh menjualnya dengan cara murabahah
dan dengan harga penuh, tanpa harus menjelaskan kerusakannya. Ini adalah
pendapat kebanyakan ulama Hanafiyah. Adapun dengan pendapat yang lain Zufar dan
mayoritas ulama dari madzhab-madzhab lain berpendapat bahwa barang yang rusak
tidak bisa dijual dengan cara murabahah, kecuali dengan menjelaskan
kerusakannya. Tujuannya adalah untuk menjauhi penipuan.
Adapun jika kerusakannya terjadi karena
pembeli pertama atau orang lain, maka tidak boleh menjualnya dengan cara
murabahah kecuali dengan menyebutkan kerusakannya. Ini adalah kesepakatan
seluruh ulama. Kemudian jika terjadi penambahan dalam barang dagangan seperti
anak, buah, bulu maka tidak boleh menjualnya dengan cara murabahah, kecuali
dengan menjelaskan penambahannya.[10]
2. Jual beli Musawamah
Jual beli dengan cara tawar menawar pada barang untuk menentukan suatu
harga, tanpa menanyakan harga barang tersebut[11].
Hal ini sebagaimana di lakukan oleh masyarakat ketika transaksi jual beli
dipasar.
Contoh: penjual memaparkan harga barannya atau menawarkan kepada si
pembeli harga guci Rp. 1.500.000,00 kemudian pembeli menawar seharga
1.400.00,00, kemudian penjual memutuskan menghargainya 1.450.000 dan pembeli
menyetujuinya.
3. Jual beli Tauliyah
Secara bahasa berasal dari kata tuggal ولّى
– ولّى على –ولّى عن , artinya memberikan wewenang, menurut
fuqoha’ adalah seorang penjual menjualkan barangnya kepada pembeli sebagaimana
harga ketika membeli.[12]jual
beli tersebut berdasarkan harga awal tanpa adanya laba[13].
Contoh: si A membeli
buah durian 15.000,00, si A mengatakan kepada si B bahwasanya ia membeli buah
tersebut seharga 15.000,00 dan ia menawarkan kepada si B dengan harga yang
sama.
Menurut jumhur Hanafiyah, Syafi’iah dan Ad-Dardiri dari Malikiah tidak
boleh jual beli tauliyah pada barang yang bisa berpindah sebelum barang
tersebut berada ditangan pembeli. Akan tatapi ulama’ malikiah memperbolehkanya pada makanan. Dan syarat sebelum penyerahan ini hendaknya antara penjual
dan pembeli sudah menentukan harga barang, waktu penyerahan, dan lain lain. Da
menurut hanabilah hal tersebut di perbolehkan asal barang sudah ditentukan[14].
4. Jual beli Isyrak
Jual beli isyrak ialah menjual sebagian barang dengan harga asli tanpa
adanya keuntungan atau kekurangan[15].
Hukum dan syarat jual beli isyrak
sebagaiman jual beli tauliyah. Karena isyrak sebagaimana tauliyah ika secara
keseluruhan[16].
Contoh: si a membeli buah pir seharga Rp. 30.000,00, atau 15.000,00/kg.
kemudian 1 kg pir terjual dengan mendapatkanlaba sedangkan 1 kg lagi di jual dengan
harga beli asli yakni Rp. 15.000,00/kg.
5. Jual beli Wadhi’ah
Secara bahasa berasal
dari kata وضع yang
bila dalam jual beli ضعة dan
وضيعة berarti kerugian[17].
Tipa madzab
mempunyai sebutan khusus untuk jual beli ini, mawadhi’ah[18],
khathitah[19],
mukhosaroh dan mukhotoh[20].
Menurut istilah para ulama’ fikih adalah jual beli dengan harga lebih
rendah dari haga awal [21].
Atau makna yang lebih masyhur adalah jual beli dengan harga yang lebih redah
dari hrga beli dan hal tersebut di ketahui kedua belah pihak dengan prinsip
amanah jenis jual beli ini diperblehkan secara syar’i[22].
Contoh: si A membeli apel seharga
15.000,00 lalu ia mengatakan kepada si b harga jual tersebut dan menyuruh si B untuk membelinya
seharaga 13.000,00
C. Syarat-Syarat Jual Beli amanah
Pada dasarnya syarat
antar jenis jual beli amanah sama, hanya beberapa hal yang membedakanya.
Sehingga para ulama’ tidak merincikan syaratnya secara terperinci. Dan lebih banyak memaparkan pada syarat jual beli
murabahah, akan tetapi tetap ada penjelasan jikalau ada perbedaan. Berikut
syarat jual beli amanah[23]:
1. Hendaknya pembeli
mengetahui harga awal (harga beli)
Ini merupakan syarat umum dari jual
beli amanah[24].
Sebgaimana pendapat para imam madzab[25]
sepakat bahwa boleh menjual apa saja yang telah dibelinya dengan mengambil laba
asalkan dengan menjelaskan harga pembelian dan banyakya laba yang dikehendaki.
Misalnya: seseorang mengatakan: “ aku menjual barang ini kepadamu dengan harga
pokok sekian dan labanya sekian”
2.
Mengetahui jumlah keuntungan (yang
diminta penjual)
Mengetahui keuntungan yang di minta penjual hendaknya
jelas, kerena keuntungan adalah bagian dari harga barang. Sementara mengetahui
harga barang adalah syarat sah semua
jenis jual beli[26]
3.
Modal yang dikeluarkan hendaknya
berupa barang mitsliyat (barang dengan memiliki varian serupa)[27].
Contoh : barang yang bisa ditakar, ditimbang dan di jual satuan dengan
varian berdekatan. Ini adalah syarat untuk murobahah dan tawliyah, terlepas dari penjualan tersebut dilakuakan
dengan penjual pertama atau dengan orang lain, juga terlepas apakah keuntungan
yang diminta serupa dengan modal pertama atau tidak. Jika harga itu berupa sesuatu yang tidak memiliki varian sejenis seperti barang
dagangan, maka ia tidak boleh dijual dengan cara murabahah ataupun tawliyah
kepada seseorang yang tidak memiliki barang tersebut. Karena murabahah
dan tawliyah adalah menjual sesuai dengan harga pertama dengan ditambah
keuntungan.
Adapun jika
barang dagangan tersebut di jual dengan cara murabahah dari oarang yang
memilikinya atau menguasainya, jika dia menjadikan keuntungan itu suatu yang
berbedadari harga awal dan bersifat jelas misalnya dirham dan pakaian tertentu
maka hukumnya adalah boleh.
Jika barang tersebut dijual dengan cara
wadhi’ah kepada seseorang yang memiliki barang tersebut maka hukumnya bertolak
belakang dengan murabahah yaitu jika ia menjadikan potongan harga
sebagian bagian yang berbeda dari modal (harga awal) dan bersifat jelas,
seperti dirham dan yang sejenisnya, maka humumnya tidak boleh. Hal iku karena
dia menggugurkan kadar potongan harga dari modal, sementara dalam kasus in
ibesarnya potongan ini tidak di ketahui dengan jelas.[28]
4.
Jual beli amanah pada barang-barang ribawi hendaknya tidak menyebabkan
terjadinya riba nasiah terhadap
harga pertama.
Contohnya adalah membeli barang yag di timbang
atau ditakar dengan barang sejenis, maka tidak boleh menjualnya kembali dengan Murabahah,
karena murabahah adalah menjual dengan harga pertama dengan ditambah
keuntungan tertentu, sementara memberikan barang tersebut tambahan adalah riba.
Tapi jika barangnya berbeda maka boleh menjualnya dengan murabahah dan jenis lainya[29].
5.
Transaksi yang pertama hendaknya
sah
Jika transaksi
yang pertama tidak sah, maka barang yang bersangkutan tidak boleh dijual dengan
cara murabahah.[30]
6.
Tidak diperbolehkan menjual barang kepada penjualnya sendiri dengan harga
lebih murah menurut pendapat Hanfiyah dan Malikiah[31].
D. Ketentuan modal dalam
jual beli amanah
Yang dimaksud
dengan modal disini adalah jumlah harga yang harus dibayar pembeli pertama
sesuai dengan kesepakatan dalam jual beli atau sesuatu yang digunakan untuk
memiliki suatu barang dengan akad. Bukan uang tunai yang di terima setelah
transaksi sebagai ganti harga yang disepakati dalam transaksi. Karena murabahah
adalah menjual barang sesuai dengan harga pertama, sementara harga pertama
adalah jumlah harga yang harus dibayar sesuai dengan kesepakatan jual beli.
Dan yang di
maksud dengan harga awal adalah hal yang wajib ada dalam jual beli, terkhusus
bagi pembeli ke-dua pada jenis tauliyah dan ditambah dengan laba dalam jual
beli murobahah.
Adapun hal-hal
yang bisa dimasukan kedalam modal adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk
barang dagangan dan menyebabkan
bertambahnya barang dagangan. Dan dalam kebiasaan para pedagang dimasukan
kedalam modal. Contohnya : biaya untuk
memutihkan dan memberi warna, biaya loundry, biaya jahit, biaya makelar, biaya
mengembala domba dan memberi makan ternak.
Adapun yang tidak bisa dimasukan
kedalam modal adalah : upah dokter, upah bekam, upah khitan, upah dokter hewan
, upah mengajari Al Qur’an.[32]
E. Hukum khiyanah dalam
jual beli amanah
Ketika dalam jual beli
amanah terdapat khiyanat baik hal tersebut diketahui dengan pengakuan penjual,
sumpah atau bukti lain, baik dalam cara pembayaran, harga, dan lain lain. maka
dalam hal tersebut para ulama’ membedakan cra penyelesaianya:
1. Khiyanah dalam cara
pembayaran
Contoh: karena kredit, A membeli hp oppo f3 secara kredit
seharga 6 jt
kepada C, kemudian C memberi tahu B bahwa A membeli motor ini 6 jt, namun tindak kreditnya dirahasiakan.
Jika B mau beli maka harganya 7 jt tunai. Beberapa hari setelah transaksi B
baru mengetahui bahwa hp itu kredit.
Dalam kasusu ini ulama’ hanafiyah, malikiah[33]
dan syafi’iah[34]
berpendapat bahwa si pembeli ke 2 ( si B) memiliki hak untuk melanjutkan jual
beli tersebut atau membatakanya.
2.
Khiyanah dalam informasi harga
Misalnya A
membeli mobil seharga 100 juta . Kemudian dia memberi
tahu B bahwa dia beli mobil tersebut 120 juta. Si B boleh
membeli mobil ini jika dia membayar 120 juta , dengan harapan agar B beranggapan bahwa A
tidak mengambil untung Hpnya. Setelah beberapa hari, B baru sadar bahwa aslinya
dia membeli mobil tersebut 100 juta bukan 120 juta. Dalam
kasus semacam ini, ulama berbeda pendapat dalam hukumnya:
a) Syafi`iyah[35], Hambali[36],
dan Imam Abu Yusuf[37]
berpendapat bahwa pembeli tidak memiliki hak khiyar. Namun dia mengambil jatah
karena khianat.
b) Abu Hanifah[38]
mengatakan: bahwa pembeli memiliki hak khiyar. Dia boleh mengambil seluruh uang
yang dia bayarkan (membatalkan transaksi). Namun untuk jual beli tauliyah,
tidak ada hak khiyar untuk pembeli. Dia boleh mengurangi harga barang sebatas
khianatnya dan dia beli dengan harga sisanya.
c) Muhammad bin Hasan[39]
dan pendapat lain dalam mazhab Syafi`iyah[40],
bahwa jika terjadi khianat dalam informasi harga, pembeli memiliki hak khiyar
untuk transaksi murabahah maupun tauliyah.
3. Dalam jual beli
wadhi’ah hukumnya mengikuti murabahah, dan isyrak mengikuti hukum tauliyah.[41]
kesimpulan
Pada dasarnya maksud awal Jual beli amanah yakni serupa dengan
tatacara pengambilan sebuah laba, baik dengan menjualnya lebih murah ataupun
lebih mahal. adapun macam-macam jual beli Amanah antara lain jual beli
Murabahah, jual beli musawwamah, jual beli tauliyah, jual beli isyrak dan jual
beli wadhi’ah.
Penjelasan
mengenai macam-macam jual beli amanah antara lain Jual beli Murabahah
adalah jual beli barang dagangan dengan harga awalnya dan ditambah di dalamnya
dengan keuntungan dengan syarat khusus yang di rincikan pada setiap madzhab.
Jual beli Musawamah jual beli dengan cara tawar menawar pada barang
untuk menentukan suatu harga, tanpa menanyakan harga barang tersebut. Hal ini sebagaimana di lakukan oleh masyarakat ketika transaksi jual
beli dipasar. Jual beli Tauliyah adalah ketika seorang penjual menjualkan
barangnya kepada pembeli sebagaimana harga ketika membeli. Dalam kata lain jual
beli tersebut berdasarkan harga awal tanpa adanya laba. Jual beli Isyrak adalah
menjual sebagian barang dengan harga asli tanpa adanya keuntungan atau
kekurangan. Dan jual beli Wadhi’ah yang merupakan jual beli dengan
harga lebih rendah dari haga awal . Atau makna
yang lebih masyhur adalah jual beli dengan harga yang lebih redah dari hrga
beli dan hal tersebut di ketahui kedua belah pihak dengan prinsip amanah.
Pada dasarnya syarat antar jenis jual beli amanah sama, hanya beberapa
hal yang membedakanya. Sehingga para ulama’ tidak merincikan syaratnya secara
terperinci. Seperti, Hendaknya pembeli
mengetahui harga awal (harga beli), Mengetahui jumlah keuntungan (yang diminta
penjual), Modal yang dikeluarkan hendaknya berupa barang mitsliyat (barang
dengan memiliki varian serupa), Jual beli amanah pada barang-barang
ribawi hendaknya tidak menyebabkan terjadinya
riba nasiah terhadap harga pertama, Transaksi yang pertama
hendaknya sah, dan tidak diperbolehkan menjual barang kepada penjualnya sendiri
dengan harga lebih murah.
Pada setiap
transaksi jual beli amanah terdapat modal yang merupakan jumlah harga yang
harus dibayar pembeli pertama sesuai dengan kesepakatan dalam jual beli atau
sesuatu yang digunakan untuk memiliki suatu barang dengan akad. Dan yang di
maksud dengan harga awal adalah hal yang wajib ada dalam jual beli. Adapun
hal-hal yang bisa dimasukan kedalam modal adalah semua biaya yang dikeluarkan
untuk barang dagangan dan menyebabkan
bertambahnya barang dagangan.
Ketika dalam jual beli amanah juga terdapat khiyanat baik hal tersebut diketahui dengan pengakuan penjual,
sumpah atau bukti lain. Seperti Khiyanah dalam cara pembayaran dan Khiyanah dalam informasi harga .
Referensi
‘Amirah, Al-Qalyubi,
Hasyiyataani Qalyubi wa ‘Amirah, cet: 3, Jld 2, 1956
Abadi, Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuzi, Qomus Al-Muhith, Beirut,
Mu’asasah Ar-Risalah, 2008
Ad-Dardiri, Muhammad bin
Ahmad, Syarh shaghir, Jld 3, Kairo
Ad-Dasuqi, Muhammad, Hasyiyah Ad-Dasuqi, Jld 3, Ihya’
Al-Kutub al-‘arabiyah
Ad-Dimasyqi,Muhammad bin Abdurrahman, Fiqih Empat Mazhab, cet:
17, (Bandung, Hasyimi, 2016), Hlm 225
Al-Barkati, Muhammad ‘Amim ihsan Al-Majdadi, Mu’jam Ta’rifat Al-fiqhiyyah,
cet 1, Beirut, Dar Al-kutub Al-‘ilmiyah, 2003
Al-Kasani,
Ibnu Mas’ud, Bada’i Ash-Shana’I fi Tartib As-Syara’i, cet: 3 Jld 5, Beirut, Darr Al-Kutub Al-‘ilmiyah, 1974
Al-Maqdisi, Muhamad bin Muflih, Al-Furu’, Jld 6, Darul Hijr
As-syarbini. Mughni Muhtaj, Jld 2 , Beirut,
Dar Al-Ma’arif, 1997
Az-Zuhaili, Wahbah, Al wajiz fil fiqh Al-Islami, cet: 2,
Jld 2 Damaskus, Darul Fikr, 2006
Az-Zuhaili, Wahbah,
Al-Mu’amalh Al-Maaliyah Al-Mu’asiroh, Damaskus, Darul Fikr , 2006
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam wa Adhilatuhu, Damaskus, Darul Fikr,
2007
Dhaif, Syauqi, Al-Mu`jam
Al-Wasith, cet: 4 ,Arab Saudi, Maktabah As-Syuruq Ad-Dauliyah, 2004
Jaziry, Abdurrohman, Kitab Fiqih ‘ala Madzahibul Arba’ah, Beirut,
Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2003
Umar, Ahmad Mukhtar, Mu’jam Al-Lughah Al-‘Arobiyah AL-Mu’asiroh ,
Kairo, ‘Alam Al-Kutub, 2008
Wizarotul Auqofi Wa Sunuul Al-islamia Al-Mausu`ah Al-Fiqhiyah
Al-Kuwaitiyah, cet: 2, Jld 9, 36, 37, 44, Kuwait, Thabaqat
Dzat As-salasil, 1986
[1] Syauqi
Dhaif, Al-Mu`jam
Al-Wasith, cet: 4 (
Arab Saudi, Maktabah As-Syuruq Ad-Dauliyah, 2004) Hlm . 48
[2] Wizarotul Auqofi wa suunul Al-Islamia, Al-Mausu`ah
Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, cet: 2 (Kuwait, Thabaqat Dzat As-salasil,
1986), Jld 9, Hlm 48
[5]
Abdurrohman Jaziry, Kitb Fiqih ‘ala Madzahibul Arba’ah, (Beirut,
Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2003), Jld 2, Hlm 250
[6] Wizarotul Auqofi wa suunul Al-Islamia, Al-Mausu`ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, cet: 2
(Kuwait, Thabaqat Dzat As-salasil, 1986), Jld 36, Hlm 318
[11] Wizarotul Auqofi wa suunul Al-Islamia , Al-Mausu`ah
Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, cet: 2 (Kuwait, Thabaqat Dzat As-salasil,
1986), Jld 37, Hlm 159
[12] Ahmad Mukhtar Umar, Mu’jam Al-Lughah Al-‘Arobiyah
AL-Mu’asiroh , (Kairo, ‘Alam Al-Kutub, 2008), Jld 3, Hlm 2498
[13] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’amalh Al-Maaliyah
Al-Mu’asiroh, (Damaskus, Darul Fikr , 2006), Hlm 222
[14]
Wizarotul Auqofi wa suunul Al-Islamia , Al-Mausu`ah
Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, cet: 2 (Kuwait, Thabaqat Dzat As-salasil,
1986), Jld 9 ,Hlm 51
[17] Muhammad
bin Ya’qub Al-Fairuzi Abadi, Qomus Al-Muhith, (Beirut, Mu’asasah
Ar-Risalah, 2008), Hlm 772
[18] Ibnu Mas’ud Al-Kasani, Bada’i Ash-Shana’I
fi Tartib As-Syara’i, cet: 3 ( Beirut, Darr Al-Kutub Al-‘ilmiyah, 1974),
Jld 5, Hlm 228
[21] Muhammad ‘Amim ihsan Al-Majdadi Al-Barkati, Mu’jam
Ta’rifat Al-fiqhiyyah, cet 1, (Beirut, Dar Al-kutub Al-‘ilmiyah, 2003), Hlm
238
[22] Wizarotul Auqofi wa suunul Al-Islamia , Al-Mausu`ah
Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, cet: 2 (Kuwait, Thabaqat Dzat As-salasil,
1986), Jld 44 ,Hlm 6
[25] Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih
Empat Mazhab, cet: 17, (Bandung, Hasyimi, 2016), Hlm 225
[27]
Ibid, Hlm 359
[31]
Muhammad
bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, cet: 17, (Bandung,
Hasyimi, 2016), Hlm 225
[37] Ibnu Mas’ud Al-Kasani, Bada’i Ash-Shana’I
fi Tartib As-Syara’i, cet: 3 ( Beirut, Darr Al-Kutub Al-‘ilmiyah, 1974),
Jld 5, Hlm 226
[39] Ibnu Mas’ud
Al-Kasani, Bada’i Ash-Shana’I fi Tartib As-Syara’i, cet: 3 ( Beirut,
Darr Al-Kutub Al-‘ilmiyah, 1974), Jld 5,
Hlm 226
[41] Wizarotul Auqofi wa suunul Al-Islamia, Al-Mausu`ah
Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, cet: 2 (Kuwait, Thabaqat Dzat As-salasil,
1986), Jld 9 ,Hlm 5
😁😉
BalasHapus